Warganya Kesulitan Beli Pangan: Warga Australia Terjebak Kredit
Warganya Kesulitan Beli Pangan dalam beberapa tahun terakhir, warga Australia semakin merasakan tekanan berat akibat lonjakan harga kebutuhan pokok yang tak terkendali. Berdasarkan data resmi dari Australian Bureau of Statistics (ABS), tingkat inflasi tahunan negara tersebut sempat menyentuh angka 7,8% pada akhir 2024—angka tertinggi dalam lebih dari tiga dekade. Meskipun pada awal 2025 inflasi mulai sedikit mereda, harga barang kebutuhan pokok seperti susu, roti, daging, dan sayur tetap bertahan di tingkat yang tinggi, menimbulkan kekhawatiran yang meluas di kalangan masyarakat kelas menengah ke bawah.
Warga seperti Emily Watson, seorang ibu tunggal di Melbourne, mengaku kini harus membatasi jumlah makanan bergizi yang biasa ia beli untuk anak-anaknya. “Dulu saya bisa membeli daging dan buah setiap minggu, sekarang saya hanya beli kalau ada diskon besar,” ungkapnya. Situasi ini mencerminkan bagaimana inflasi telah menggerus daya beli masyarakat secara signifikan, bahkan di negara yang di kenal memiliki standar hidup tinggi seperti Australia.
Lonjakan harga pangan juga terjadi akibat serangkaian faktor eksternal, seperti konflik geopolitik, cuaca ekstrem yang merusak panen lokal, hingga gangguan rantai pasok global. Di sisi lain, kenaikan biaya produksi, termasuk upah dan bahan bakar, turut membuat harga di pasar menjadi semakin tidak terjangkau.
Warganya Kesulitan Beli Pangan dengan kondisi ini memunculkan kekhawatiran akan dampak jangka panjang terhadap kesehatan masyarakat. Ahli gizi dan organisasi kesehatan memperingatkan bahwa ketidakmampuan membeli makanan sehat dapat menyebabkan lonjakan masalah kesehatan kronis seperti obesitas, diabetes, dan kekurangan gizi, terutama di kalangan anak-anak.
Kredit Konsumen Membengkak, Gaji Tak Lagi Cukup Untuk Bertahan Hidup
Kredit Konsumen Membengkak, Gaji Tak Lagi Cukup Untuk Bertahan Hidup, warga Australia kini menghadapi situasi yang kian pelik: mereka terjebak dalam jeratan kredit konsumtif untuk sekadar bertahan hidup. Data dari Reserve Bank of Australia (RBA) menunjukkan bahwa total utang rumah tangga meningkat drastis, dengan proporsi terbesar berasal dari kartu kredit, pinjaman konsumtif, dan layanan Buy Now, Pay Later (BNPL) seperti Afterpay dan Zip.
Banyak keluarga kini harus menggunakan kartu kredit untuk memenuhi kebutuhan dasar seperti makanan, tagihan listrik, dan sewa tempat tinggal. Survei yang di lakukan oleh Financial Counselling Australia pada kuartal pertama 2025 menunjukkan bahwa lebih dari 35% responden menggunakan kartu kredit mereka untuk membeli bahan makanan dalam tiga bulan terakhir.
Warga seperti Mitchell Brown, seorang pekerja lepas di Sydney, mengaku telah menggunakan limit kartu kreditnya hingga penuh dalam tiga bulan terakhir. “Dulu kartu kredit saya gunakan untuk hal darurat, sekarang untuk belanja mingguan. Gaji saya sudah tak cukup lagi,” katanya. Situasi ini memperlihatkan bagaimana masyarakat kini beralih ke utang sebagai solusi jangka pendek yang justru memperburuk kondisi keuangan mereka di masa depan.
Peningkatan suku bunga acuan oleh RBA untuk menahan inflasi juga berdampak langsung terhadap bunga pinjaman konsumen. Akibatnya, beban bunga kredit semakin tinggi, membuat cicilan kartu kredit dan pinjaman pribadi makin memberatkan. Hal ini menciptakan lingkaran setan utang yang sulit di putus oleh warga berpenghasilan rendah dan menengah.
Kondisi keuangan rumah tangga yang rapuh ini menjadi tantangan besar bagi pemerintah. Beberapa kelompok advokasi menuntut agar pemerintah mengatur lebih ketat layanan BNPL dan memberikan edukasi keuangan massal agar warga tidak terjebak dalam utang jangka panjang hanya untuk memenuhi kebutuhan hidup harian.
Pemerintah Didesak Beri Solusi Konkret: Subsidi tau Kenaikan Upah Dengan Warganya Kesulitan Beli Pangan
Pemerintah Didesak Beri Solusi Konkret: Subsidi tau Kenaikan Upah Dengan Warganya Kesulitan Beli Pangan memenuhi kebutuhan dasar, tekanan terhadap pemerintah federal dan negara bagian Australia terus meningkat. Berbagai pihak mendesak adanya intervensi langsung dalam bentuk subsidi pangan, kontrol harga, atau kebijakan kenaikan upah minimum yang signifikan. Kelompok buruh, organisasi konsumen, dan lembaga sosial menilai bahwa langkah-langkah yang di ambil pemerintah selama ini masih jauh dari memadai.
Salah satu langkah yang sudah di lakukan adalah peningkatan tunjangan kesejahteraan seperti JobSeeker dan Youth Allowance. Namun, menurut para ekonom dan kelompok advokasi seperti ACOSS (Australian Council of Social Service), nominal kenaikan tersebut. Tidak cukup untuk menutupi kenaikan biaya hidup yang melonjak hingga dua kali lipat dalam beberapa sektor.
Di parlemen, isu ini juga mulai memanas. Beberapa anggota oposisi menuding pemerintah terlambat bertindak dan terlalu mengandalkan mekanisme pasar untuk mengatasi krisis pangan dan kredit. Mereka mengusulkan pengenaan pajak tambahan terhadap ritel besar yang memperoleh keuntungan besar selama krisis. Dan penggunaan dana tersebut untuk mensubsidi bahan pangan bagi masyarakat kurang mampu.
Serikat pekerja juga terus menekan para pengusaha dan parlemen agar menaikkan upah minimum nasional. Australian Council of Trade Unions (ACTU) menyuarakan agar upah minimum di naikkan setidaknya 7% pada 2026 untuk mengimbangi dampak inflasi. Mereka menilai bahwa pekerja saat ini bekerja lebih keras namun dibayar lebih rendah secara riil akibat menurunnya daya beli.
Situasi ini menciptakan di lema kebijakan yang tidak mudah di selesaikan. Pemerintah harus menyeimbangkan antara kepentingan konsumen yang menderita dan dunia usaha yang mulai goyah. Untuk jangka panjang, para analis menyarankan agar Australia memperkuat ketahanan pangan domestik dan mengurangi ketergantungan pada impor yang rentan terhadap gejolak harga global.
Generasi Muda Australia Hadapi Risiko “Kemiskinan Modern”
Generasi Muda Australia Hadapi Risiko “Kemiskinan Modern” kini menjadi kelompok yang paling rentan dalam krisis biaya hidup yang sedang melanda. Istilah “kemiskinan modern” mulai ramai di perbincangkan di media sosial, merujuk pada kondisi di mana seseorang. Tampak hidup layak secara kasat mata namun sebenarnya kesulitan secara finansial untuk memenuhi kebutuhan dasar sehari-hari.
Millennial dan Generasi Z, yang baru memasuki dunia kerja atau tengah membangun keluarga. Kini menghadapi tekanan ganda: tingginya biaya sewa atau cicilan rumah, mahalnya harga makanan, dan beban utang pendidikan yang belum lunas. Sebuah studi dari Grattan Institute menunjukkan bahwa generasi muda kini. Memiliki kekayaan bersih yang jauh lebih rendah di bandingkan generasi sebelumnya pada usia yang sama.
Ava Jenkins (27), seorang guru di Brisbane, mengaku harus berbagi apartemen dengan tiga teman lain untuk menghemat biaya hidup. “Dulu saya membayangkan usia 27 sudah bisa punya rumah kecil dan menabung untuk masa depan. Sekarang saya bahkan sulit menyisihkan uang setelah bayar listrik, sewa, dan makanan,” ujarnya.
Fenomena “working poor” juga makin terasa. Banyak generasi muda yang memiliki pekerjaan tetap namun tidak bisa menabung atau bahkan harus mengambil pekerjaan sampingan untuk memenuhi kebutuhan. Hal ini di perparah oleh kurangnya akses terhadap properti dan kenaikan. Harga rumah yang drastis, membuat kepemilikan rumah menjadi mimpi yang kian jauh dari kenyataan.
Dalam konteks sosial, tekanan ini berdampak pada kesehatan mental generasi muda. Laporan dari Beyond Blue mencatat peningkatan tajam dalam permintaan layanan konseling yang berkaitan dengan stres finansial. Generasi muda juga mengalami peningkatan kasus kecemasan, depresi, dan kelelahan mental akibat tekanan ekonomi yang terus-menerus.
Kondisi ini menjadi sinyal penting bagi pemerintah dan pembuat kebijakan untuk memprioritaskan. Kesejahteraan ekonomi generasi muda sebagai bagian dari strategi jangka panjang. Tanpa tindakan konkret, Australia berisiko mencetak generasi yang secara ekonomi tertinggal. Dan kehilangan harapan akan masa depan yang lebih baik berdasarkan Warganya Kesulitan Beli Pangan.