Kamis, 20 November 2025
WHO Dorong Investasi Besar Untuk Kesehatan Mental Anak Dan Remaja Global
WHO Dorong Investasi Besar Untuk Kesehatan Mental Anak Dan Remaja Global

WHO Dorong Investasi Besar Untuk Kesehatan Mental Anak Dan Remaja Global

WHO Dorong Investasi Besar Untuk Kesehatan Mental Anak Dan Remaja Global

Facebook Twitter WhatsApp Pinterest LinkedIn Tumblr Telegram Email Print
WHO Dorong Investasi Besar Untuk Kesehatan Mental Anak Dan Remaja Global
WHO Dorong Investasi Besar Untuk Kesehatan Mental Anak Dan Remaja Global

WHO Dorong Investasi, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mengeluarkan seruan global baru yang mengguncang dunia internasional: kesehatan mental anak dan remaja kini berada di titik krisis. Dalam laporan resmi bertajuk “Mental Health Investment for the Next Generation” yang di rilis pada November 2025 di Jenewa, WHO menegaskan bahwa lebih dari 1 miliar anak dan remaja di dunia saat ini hidup dengan risiko gangguan kesehatan mental. Termasuk depresi, kecemasan kronis, hingga stres pascatrauma akibat konflik dan tekanan sosial.

Direktur Jenderal WHO, Dr. Tedros Adhanom Ghebreyesus, menyebut kondisi ini sebagai “silent emergency” atau darurat senyap. “Kita sering berbicara tentang vaksin, imunisasi, dan gizi, tetapi jarang menyinggung kesehatan pikiran. Padahal, tanpa pikiran yang sehat, tubuh juga tidak akan bisa berkembang optimal,” ujar Tedros.

Menurut data WHO, lebih dari 25% anak usia 10–19 tahun mengalami gangguan mental dalam berbagai bentuk. Yang paling sering di temukan adalah kecemasan dan depresi ringan hingga berat. Kasus bunuh diri di kalangan remaja bahkan kini menjadi penyebab kematian kedua tertinggi di dunia setelah kecelakaan lalu lintas.

Faktor digital menjadi dimensi baru yang memicu gangguan mental generasi muda. WHO menyebut bahwa penggunaan media sosial yang berlebihan. Terutama di usia di bawah 15 tahun, telah meningkatkan risiko isolasi sosial, gangguan citra diri, dan tekanan emosional akibat paparan konten berlebihan.

Lebih mengkhawatirkan lagi, 70% negara berpenghasilan rendah masih belum memiliki sistem kesehatan mental anak yang terstruktur. Anggaran yang di sediakan pun sangat minim. Rata-rata hanya 1–2% dari total belanja kesehatan nasional, jauh dari standar WHO yang merekomendasikan minimal 5%.

WHO Dorong Investasi, “Krisis ini tidak hanya soal individu yang sakit, tetapi soal masa depan bangsa yang sedang terancam,” tegas Tedros. “Jika kita gagal berinvestasi sekarang, generasi yang akan datang akan membayar harga mahalnya.”

Fokus WHO: Pendidikan, Akses, Dan Intervensi Dini

Fokus WHO: Pendidikan, Akses, Dan Intervensi Dini, sebagai langkah konkret, WHO meluncurkan program global bertajuk “MindFirst Initiative” pada 2025. Inisiatif ini bertujuan untuk memperkuat akses layanan kesehatan mental bagi anak dan remaja di seluruh dunia melalui pendekatan sistemik lintas sektor — pendidikan, kesehatan, dan sosial.

Program ini di desain berdasarkan tiga pilar utama:

  1. Pendidikan dan Literasi Mental.
    WHO mendorong agar setiap sekolah — mulai dari tingkat dasar hingga menengah — memiliki kurikulum literasi kesehatan mental. Anak-anak di ajarkan mengenali emosi, mengelola stres, dan berani mencari bantuan ketika di perlukan. Guru dan konselor di latih untuk mendeteksi tanda-tanda awal gangguan mental, seperti perubahan perilaku, penurunan nilai, atau isolasi sosial.
  2. Akses Layanan yang Inklusif.
    WHO menargetkan agar setiap negara memiliki sistem rujukan psikologis di tingkat sekolah atau komunitas. Anak-anak yang terindikasi mengalami masalah mental bisa langsung mendapat akses ke psikolog, konselor, atau layanan daring. Teknologi digital di gunakan untuk menjembatani keterbatasan tenaga ahli, terutama di negara berkembang.
  3. Intervensi Dini dan Dukungan Keluarga.
    WHO menekankan bahwa keluarga adalah benteng pertama kesehatan mental anak. Karena itu, organisasi ini bekerja sama dengan UNICEF dan UNESCO untuk mengadakan pelatihan bagi orang tua di 50 negara, termasuk Indonesia. Program ini mengajarkan cara berkomunikasi dengan anak, mengenali gejala stres, dan menciptakan lingkungan rumah yang suportif.

Selain itu, WHO memperkenalkan konsep “Mental Health-Friendly Schools”. Di mana sekolah bukan hanya tempat belajar akademis, tetapi juga ruang aman bagi anak-anak untuk mengekspresikan diri. Sekolah yang memenuhi kriteria — memiliki konselor, zona bebas bullying, serta program kesejahteraan mental — akan mendapatkan sertifikasi khusus dari WHO.

Uji coba awal program ini di lakukan di Finlandia, Kenya, dan Filipina. Hasilnya menunjukkan penurunan angka depresi remaja hingga 22% dan peningkatan performa akademik sebesar 15%. WHO kini menargetkan agar program ini menjangkau 150 juta anak di 100 negara pada 2030.

Pembiayaan Global Dan Tantangan Implementasi Di Negara Berkembang

Pembiayaan Global Dan Tantangan Implementasi Di Negara Berkembang, salah satu hambatan terbesar dalam mewujudkan inisiatif global ini adalah masalah pendanaan. WHO memperkirakan bahwa dunia membutuhkan US$ 10–12 miliar per tahun selama satu dekade ke depan untuk mengembangkan layanan kesehatan mental anak dan remaja secara menyeluruh.

Namun, investasi itu di anggap kecil di bandingkan potensi kerugian ekonomi akibat gangguan mental yang mencapai lebih dari US$ 1 triliun per tahun. Menurut perhitungan Bank Dunia, setiap US$ 1 yang di investasikan untuk perawatan dan pencegahan gangguan mental menghasilkan pengembalian sosial-ekonomi senilai US$ 4.

Untuk itu, WHO menggandeng Bank Dunia, Uni Eropa, dan lembaga donor besar seperti Gates Foundation dan Wellcome Trust untuk membentuk “Global Mental Health Fund for Youth”, sebuah dana global khusus untuk pembiayaan proyek kesehatan mental anak. Dana ini akan mendukung negara berkembang yang ingin membangun klinik remaja, memperluas pelatihan tenaga konselor, atau mendigitalisasi sistem layanan.

Beberapa negara telah menanggapi inisiatif ini dengan langkah konkret.

  • Kanada mengalokasikan tambahan CAD 800 juta untuk memperluas layanan psikologi remaja di sekolah.
  • Jepang mengembangkan platform digital nasional untuk konsultasi psikologis yang di akses oleh 2 juta pelajar setiap bulan.
  • Indonesia sendiri meluncurkan “Program Sehat Jiwa Remaja” yang bekerja sama dengan WHO dan UNDP, melatih 5.000 guru dan 10.000 relawan muda di 34 provinsi.

Namun, tantangan terbesar tetap ada pada negara-negara berpenghasilan rendah di Afrika dan Asia Selatan, di mana jumlah psikiater anak masih sangat minim. Misalnya, di Nigeria, hanya ada 1 psikiater anak untuk setiap 4 juta penduduk.

WHO menekankan pentingnya inovasi. Solusi berbasis komunitas, pendekatan peer counseling, serta layanan berbasis teknologi seperti terapi daring menjadi alternatif efektif dan murah. Di Indonesia, misalnya, WHO membantu pengembangan aplikasi “Sahabat Jiwa” yang menyediakan konseling daring gratis untuk remaja melalui chatbot psikologis dengan pengawasan profesional.

Peran Teknologi Dan Kolaborasi Multisektor

Peran Teknologi Dan Kolaborasi Multisektor, kesehatan mental kini tidak bisa di lepaskan dari peran teknologi. WHO menilai bahwa digitalisasi bisa menjadi pedang bermata dua: di satu sisi menjadi penyebab stres, namun di sisi lain juga solusi.

Untuk itu, WHO mengembangkan pedoman global tentang “Digital Mental Health for Youth”, yang menetapkan standar keamanan dan etika untuk aplikasi kesehatan mental. Pedoman ini menyoroti perlunya privasi, keamanan data anak, dan pengawasan medis profesional dalam layanan berbasis AI atau chatbot.

Beberapa perusahaan besar dunia juga ikut mendukung inisiatif ini. Google, Microsoft, dan Meta menandatangani nota kesepahaman dengan WHO. Untuk membantu menyediakan sumber daya digital yang aman, termasuk filter konten berbahaya dan promosi literasi digital positif.

Selain sektor teknologi, WHO juga menggandeng komunitas agama dan budaya lokal. Di banyak negara berkembang, stigma terhadap kesehatan mental sering terkait kepercayaan dan nilai sosial. Dengan melibatkan tokoh masyarakat, pesan tentang kesehatan mental bisa lebih mudah di terima.

Contohnya, di Indonesia, WHO bekerja sama dengan Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan Kementerian Agama dalam kampanye “Kesehatan Jiwa Sebagai Amanah”, yang mengajak masyarakat memahami bahwa merawat mental sama pentingnya dengan menjaga fisik.

Sementara itu, UNICEF mengintegrasikan kampanye kesehatan mental dengan program perlindungan anak di daerah konflik, seperti Gaza, Sudan, dan Myanmar. Di daerah-daerah ini, ribuan anak menjadi korban trauma akibat perang dan kehilangan keluarga.

WHO memperingatkan bahwa tanpa intervensi psikologis, anak-anak korban konflik berpotensi mengalami trauma jangka panjang yang dapat di wariskan ke generasi berikutnya. Fenomena yang di kenal sebagai “trauma transgenerasional”.

Masa Depan Kesehatan Mental Dunia: Harapan Dan Tantangan

Masa Depan Kesehatan Mental Dunia: Harapan Dan Tantangan, langkah WHO ini menandai babak baru dalam sejarah kesehatan global: transisi dari pendekatan medis semata menjadi gerakan sosial dan pembangunan manusia berkelanjutan.

Namun, tantangan ke depan tidak ringan. Selain pendanaan, WHO mengingatkan bahwa perubahan kebijakan memerlukan komitmen politik jangka panjang. Banyak negara masih menganggap kesehatan mental sebagai isu sekunder di banding penyakit menular atau ekonomi.

WHO berharap, pada tahun 2030 setiap anak dan remaja di dunia tanpa memandang latar belakang ekonomi, budaya, atau negara dapat mengakses layanan kesehatan mental yang aman, inklusif, dan terjangkau.

“Tidak ada masa depan yang sehat tanpa generasi muda yang sehat secara mental,” kata Dr. Tedros menutup pidatonya di Jenewa. “Investasi dalam kesehatan mental anak bukan hanya kewajiban moral, tetapi fondasi bagi masa depan dunia yang lebih damai, produktif, dan berempati” WHO Dorong Investasi.

Share : Facebook Twitter Pinterest LinkedIn Tumblr Telegram Email WhatsApp Print

Artikel Terkait